Lihat papan nama benda cagar budaya Rumah Bupati Ambal, mata tampak sakit sekali. Karat yang menganggu kenyamanan mata. Keindahan alam sekitarnya terusik olehnya keberadaannya. Kusam dan dekil. Bau karatnya bisa tercium dari jarak puluah meter. Yang jelas kurang sedap dipandang mata. Tapi saya tetap dibuatnya penasaran dengan petunjuk atau papan nama itu. Rasa keingintahuan wujud dari bentuk atau rupa rumah bupati Ambal.
Bayangan isi kepala saya, pasti rumah Bupati Ambal ini megah dan luas. Seperti wujud rumah bupati ala keraton model jawa. Dengan model joglo dengan pelataran yang indah. Dihiasi dengan kursi yang berukurin unik dan menarik. Bergaya hiasan Jepara. Pokoknya mirip dengan apa yang tervisualisasi di film-film jawa kuno itulah. Eh ternyata, impian dan gambaran saya itu sungguh jauh berbeda.
Bentuk bangunan cagar budaya rumah bupati Ambal tidak ubahnya seperti rumah biasa. Sederhana dan sangat sederhana. Dan tidak ada yang istimewa. Halaman yang lebih tertata, dengan rerumputan yang tetap menghijau. Pagar terbuat dari ayaman bambu. Dan bersih, tidak tampak sampah berserakan. Dengan bebarapa pohon kepala yang menjulang tinggi.
Saya sendiri pun bertanya-tanya. Nilai historisnya dimana? Kalau memang ini cagar budaya, kenapa tidak terbuka buat umum. Atau menjadi tempat wisata, agar generasi penerus tahu, lebih mengenal sejarah wilayahnya. Saya pun berkesempatan bertanya dengan anak kecil yang berlalu-lalang didepan rumah itu. Dan dia pun tidak mengenal siapa nama penghuni rumah bupati Ambal itu. Kok bisa?
Dan saya sebenarnya mencoba untuk berjumpa dengan penghuni rumah bupati Ambal. Menunggu lama tapi tidak kunjung tampak jua. Dan saya pun berkeleling mengintari rumah tersebut. Tapi terlihat sepi, mungkin penghuninya sedang keluar rumah atau bepergian. Dan saya pun sabar menanti.
Untuk menghindari jenuh dalam menunggu. Saya pun mencoba mengintip dari luar karena penasaran dengan perabotan di dalamnya. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada photo-photo yang bersejarah terpajang di dindingnya. Terus ini yang dilindungi apanya? Yang dijadikan cagar budaya apanya? Bangunannya kah? Hati ini terus bertanya.
Konon cerita, Ambal pernah menjadi daerah Kabupaten atau Kadipaten sebelum bergabung dengan Kebuman. Dan kini berubah menjadi kecamatan. Ah tapi sayang, minim sekali dengan catatan sejarah. Semoga lain waktu bisa ke rumah bupati Ambal lagi, dan bisa bertemu dengan penghuni atau pemiliknya. Sehingga bisa mengobrol ringan tentang sejarah Ambal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar