Mendung menggantung, tidak menyurutkan aku untuk tetap jalan-jalan. Semangatku tidak bisa dikalahkan oleh awan hitam. Isi hatiku tetaplah ceria dan cerah. Semangat membara, mengalahkan kemalasan. Karena aku ingin bahagia. Tidak mau terkurung dan terkekang dikamar yang sumpek dan pengap. Aku ingin bebas, mengembara. Awan hitam pasti akan berlalu. Mendung bukan berati akan turun hujan. Bisa jadi, dia hanya menakuti, menjadi bayang-bayang hollowen yang tidak pernah terwujud.
Terus kupacu sepeda besi tuaku. Sesekali dia menjerit, pertanda melebihi patas kecepatan kemampuannya. Tapi aku tidak memperdulikannya. Motor tua, sesekali memang manja. Ah untuk apa aku menghiraukannya. Dia kan benda mati, yang selayaknya aku paksa. Menerjang dan membelah kemacetan ibu kota. Klakson menjerit, mirip terompet malaikat maut. Memekikan kendang telinga. Dalam hati, aku hanya bisa sumpah serapah.
Di Minggu pagi ini, aku ingin jalan-jalan ke Taman Fatahillah, Kota Tua Jakarta. Taman yang menjadi kebanggaan anak muda. Tempat berkumpulnya kawula muda bercengkrama. Berekreasi dan bergembira. Sekaligus memadu kasih. Bergaya abang-none Belanda. Genit-genit menggoda.
Stadhuisplein itulah awal mula nama Taman Fahatillah. Sebuah taman yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Taman ini tergolong sangatlah luas, sehingga menjadi titik kumpul para pengunjung. Disekitar taman ini berdiri bangunan tua, semisal bekas Balai kKta Jakarta, Kantor Pos Kota, Museum Wayang, dan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Ada hal yang menarik ditengah Taman Fatahillah ini. Yaitu bangunan kecil dengan persegi delapan. Bentuk bangunan ini unik dan mungil. Dengan warna cat putih. Model kuncup mirip stupa. Pinggirnya menjadi tempat duduk-duduk pengunjung saat kelelahan. Melepas penat, sesekali saling bercanda dan bercerita.
Ternyata ini adalah taman air mancur. Tapi herannya, tidak ada air yang mancur atau pun yang mengalir. Jangan kan air yang mancur, air yang menggenang pun tidak ada. Alias kering kerontang. Kadang lucu juga. Kenapa bisa begini?
Di dasar Taman Air Mancur terdapat prasasti yang bertuliskan:
Menurut sebuah lukisan ang dibuat oleh pegawai VOC Johannes Rach, ditengah lapangan terdapat sebuah air mancur berbentuk segidelapan yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat yang dibangun pada tahun 1743 dan dirubuhkan pada abad ke 19.
Pada tahun 1972 diadakan penggalian dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pia-pipanya dan direkonstruksi untuk mengingat kita kembali dimana orang-orang dahulu mengambil air.
Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman ini dengn memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.
Sayang sekali ya, sumber air mancur itu tidak diketahui asal muasalnya. Seandainya bisa ditelusuri, pastinya air mancur ini menjadi air zam-zam Kota Tua Jakarta. Akan menjadi berkah bagi pengunjungnya. Tapi apa boleh buat, misteri pipa-pipa air mancur itu belum terpecahkan. Belum terungkap, dimana induk semangnya. Sehingga air zam-zam di Taman Fahillah mengering. Entah sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar