Hidup di jalanan itu semakin keras. Jiwa sabar harus dikedepankan. Menahan dan meredakan emosi, sepertinya sudah menjadi keharusan. Jika tidak, yang ada sesama pengguna jalan nantinya saling beradu mulut. Bahkan bisa jadi adu fisik. Hidup seakan-akan dikejar waktu, sehingga semua orang saling berburu untuk sampai tujuan. Telat dikantor atau dikerjaan bisa kena omelan sang atasan.
Kemacetan semakin tidak bisa dihindarkan. Populasi kendaraan tidak seiring dengan perluasan atau pelebaran jalan. Motor atau mobil keluaran baru dari perusahaan otomotif tidak terbendungkan. Setiap hari terus memproduksi. Konsumen termasuk aku, juga semakin rakus untuk mengoleksi. Tidak cukup punya satu. Terus ada ambisi untuk memiliki.
Kehidupanku, bisa dikatakan lebih banyak di jalanan. Bergerumul dengan asap dan debu jalanan. Pantaslah, jika kulit tubuh ini semakin gelap dan gersang. Pori-pori kulit tertutup daki yang semakin menebal. Keriput dan tampak menua. Tapi untung saja, aku tetap jadi orang ganteng dan menawan. Hitam manis, kalau kata orang.
Yang namanya hidup di jalanan. Pasti banyak duka dan sukanya. Tidak terkengkang oleh jam waktu. Jam kerja fleksibel, bisa diatur sendiri. Yang penting target bisa terpenuhi. Hidup terasa bebas. Banyak hal yang bisa untuk diceritakan, karena selalu ada pengalaman atau kejadian baru yang didapatkan.
Kena ban bocor tetaplah gembira. Tidak terbesit sedikitpun rasa kecewa. Anggap saja, berbagi rezeki dengan tukang tambal ban. Yang penting, tubuhku tetap masih sempurna. Jiwaku masih bersemayam dengan nyamannya. Tidak ada gejolak. Tidak ada rasa berontak. Alias, aku masih hidup.
Ah, mungkin motorku lelah seharian dipaksa kerja rodi. Sesekali minta dimanja dan disayang. Aku harus mengerti kondisi kuda besiku. Istirahat sejenaklah. Mari kita berteduh. Tuanmu sangat perduli denganmu. Dan aku tetaplah gembira. Yang penting setelah ini, kau bisa aku pacu kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar