Hidup terus berjalan. Bahkan tampak cepat sekali perubahannya. Waktu benar-benar singkat. Yang tidak kuat bertahan, siaplah untuk digulingkan. Yang tidak ikut berubah, siaplah tertinggal dan dicampakan. Harus ada yang baru dalam kehidupan ini, yang dirasa sudah kuno akan menjadi pajangan belaka. Masih untung jika menjadi barang antik, kalau menjadi barang rongsokan? Sungguh betapa sia-sianya.
Mesin Ketik kalau dulu sering menyebutnya mesik tik, maklum lidah jawa, suka menghemat kata. Lidah yang tidak mau repot dengan hal-hal rumit. Lidah yang suka mempermendek atau menyingkat sebuah kata atau kalimat. Mungkin biar lebih simple.
Banyak kenangan terindah dengan mesin ketik yang saya miliki. Saya memiliki mesin ketik saat duduk dibangku sekolah SMA. Maklum dulu ada ekstrakulikuler mengetik di sekolah. Tapi mesin ketik yang di sekolah bentuknya gede-gede sekali.
Kalau dulu saat mengetik ketahuan dengan jemari dua, alias jemari sebelas. Tangan siap-siap dipukul penggaris oleh guru. Saya pun pernah kena pukul, aduh rasanya sakit sekali. Benar-benar kejam dan tidak berperijemari, guru saya saat itu. Nah, agar saya lancar mengetik terpaksa deh membeli mesin ketik sendiri yang bisa ditenteng kesana-kemari. Harga mesin ketik saat itu Rp 1.500.000,-. Duit untuk ukuran saat itu tergolong wah ya. Maka jarang sekali orang yang bisa memiliki mesin ketik.
Saat ini saya lancar mengetik sepuluh jari tanpa melihat tombol keyboard ya, karena kejamnya guru saya saat itu. Oh iya, saya juga sempat membuka jasa mengetikan naskah skripsi. Pastinya dengan alat mesin ketik yang saya punya itu. Dulu untuk komputer mungkin belum seramai saat ini lo. Pastinya bisa dibayangkan kan, betapa repotnya jika ada kesalahan ketik. Harus ditipex, yang lebih parahnya lagi harus diketik ulang.
Dan dengan saya memiliki mesin ketik tersebut, saya sering ditunjuk sebagai ketua organisasi di kampung. Maka tidak heran, jika nama saya sangat tersohor di pelosok kampung. Bahkan orang jauh, rela malam-malam kerumah hanya sekedar ingin meminjam mesin ketik atau meminta bantuan jika ada hal yang darurat dengan surat-menyurat atau dokumen kearsipan.
Tapi ya itu, suara yang dikeluarkan mesin ketik tersebut sungguh menganggu. Tak tik tuk. Belum lagi jika pita ketiknya mulai sudah tidak tampak. Belinya lumayan jauh. Dulu pita ketik yang mahal memiliki dua warna, hitam dan merah dibawahnya. Walau sebenarnya warna merah jarang sekali terpakai.
Nah itulah cerita tentang mesin ketik yang tinggal kenangan. Mau dijual sayang karena dihargai barang rongsokan. Untuk sementara biarlah digudang saja. Akan saya simpan dengan baik. Biar suatu saat, saya bisa mengenangnya kembali. Oh Mesin Ketik, saya tetap mencintaimu. Walau kau telah usang, cinta ini tetap abadi. Beda dengan cintanya sayang mantan yang cepat basi. Preeet!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar