Awal kemunculan peraturan Undang-Undang tentang lalu lintas dan angkutan jalan nomor 22 Tahun 2009, Pasal 107 ayat 2 "Wajib Menyalakan Lampu Utama Disiang Hari". Sebenarnya hati saya sudah memberontak. Wah ini Pasal kayaknya gimana gitu. Saya yang setiap hari mengukur jalan, kehidupannya sering dijalan raya. Alias mondar-mandir, bisa sering kena tilang nih. Maklum motor saya sudah uzur, alias motor tua.
Tapi bagaimana lagi ternyata undang-undang tersebut disyahkan dan diterapkan. Saya harus mengadu kemana lagi. Kecuali hanya bisa pasrah dan terima nasib saja. Wong cilik, memang tidak punya pilihan, selain harus nurut saja. "Nasib-nasib", gerutu batin saya.
Ukuran atau patokan siang, di negara kita kan unik. Pada umumnya, yang dimaksud siang itu ya berkisar antara jam 11 sampai jam 14. Tapi kenyataannya gimana, yang dimaksud siang diundang-undang itu kan kias, bisa multitafsir, tergantung siapa yang menterjemahkan. Siang bisa berarti ya setelah malam. Pada intinya, lampu utama motor harus nyala terus saat berkendara. Wah sebuah pemboroan energi.
Disisi lain pemerintah menganjurkan hemat energi. Disisi lain, mengajak pemborosan. Motor tua, pastinya tidak tahan panas. Rumah bohlam lampu yang cepat meleleh, atau bohlamnya yang cepat aus alias mati. Kalau sudah mati kan repot juga, pasangnya juga tidak semudah yang dibayangkan. Harus bongkar totok bagian depan. Aduh, keluar biaya untuk ongkos mekanik. Dompet ikut tipis.
Cari duit sehari belum tentu dapat. Eh pas apes, kena tilang hanya kerena lampu depan tidak menyala, terasa banget. Kena denda 100ribuan, atau pidana kurungan selama 15 hari. Wah kejam dan tega banget. Bagi orang yang kerja di pabrik atau pegawai negeri, mungkin tidak begitu menyoalkan. Lah saya yang pendapatannya tidak menentu alias harian. Seharusnya untuk jatah makan, eh untuk bayar denda tilangan.
Emang seh, tujuan Undang-undang itu bagus. Untuk menekan angka kecelakaan dijalan. Tapi masak iya, harus mewajibkan lampu depan motor menyala terus. Itu hanya sekedar uneg-uneg saya pribadi. Bisa jadi saya yang salah dalam memandang atau menyimpulkan undang-undang tersebut.
Saya sangat mendukung dua mahasiswa Universitar Kresten Indonesia Jakarta yaitu Eliadi Hulu dan Ruben Saputra yang melakukan gugatan ke Makamah Konstitusi/MK. Semoga saja bisa menang. Dan undang-undang tersebut bisa dicabut. Ah, sebuah mimpi disiang hari kayaknya. Tapi tak apalah, berharap itu kan boleh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar