Pada tanggal itu pula saya menghadiri resepsi pernikahan Karim dengan Putri. Resepsi yang diadakan dimusim pandemi, pastinya tidak seleluasa dihari-hari seperti biasanya. Harus patuh dengan protokol kesehatan. Tamu yang diundang tidak boleh terlalu banyak. Dan acaranya pun dibatasi sampai jam lima sore. Tapi tak apalah ya, yang penting acaranya penuh hikmat. Dan yang penting sah, menurut agama maupun negara.
Oh iya, saya itu masih jomblo. Jadi kalau menghadiri acara seperti inti, saya itu agak gimana gitu. Teman-teman pada bawa pasangan, alias gebetannya. Masak iya saya sendirian. Ketahuan jomblo abadinya. Bujang yang tidak pernah laku. Sebenarnya saya itu, ya tidak terlalu jelek-jelek amat. Tapi entah mengapa, cewek-cewek pada enggan menjadi tautan hati saya. Ah, mungkin faktor ekonomi yang belum mapan. Duh iley, kenapa saya jadi curhatan gini ya.
Tapi saya tetap bahagia dengan kesendirian ini. Menikmati rasa kebebasan tanpa sebuah ikatan janji cinta. Saya percaya, suatu saat akan ada wanita yang ingin bersandar di punggung saya. Dia akan melabuhkan hatinya sepenuhnya. Dia ingin menua dan rela berbagi piluh rasa dengan saya. Saya yakin itu, dan pasti akan datang. Tapi kapan? Mungkin Tuhan lagi mempersiapkannya. Preeet!!!!!
Eits, jangan salah lo! Walau saya itu masih jomblo, sering jadi tempat curhatan teman-teman yang sudah berkeluarga. Semisal teman laki saya yang bingung menghadapi istrinya yang cerewet. Dia minta solusi dan pendapatnya. Apa jawaban saya tentang istri yang cerewet? Sebenarnya bukan istri cerewet, tapi istri yang penuh dan banyak kalimat dikepalanya. Sehingga wajar, jika harus dituangkan lewat lisan atau omongan. Sebaba apa, jika kalimat-kalimat yang ada dikepala tersebut tidak dikeluarkan, akan mendatangkan penyakit. Kepala penuh, bisa strok jadinya. Atau bisa mendatangkan bisul dikepalanya.
Tu, kalau istri sakit yang rugi siapa? Kan suami juga kan? Jadi kalau istri lagi mengeluarkan kata-kata atau kalimat, sebagai seorang suami cukup mendengarkan saja. Tidak perlu ditanggapi atau dibantah. Atau dimarahi, cukup menjadi pendengar yang baik. Semakin dibantah, marahnya akan menjadi-jadi. Hal yang wajar, jika seorang istri ngomel sama suaminya. Coba jika istri ngomelnya sama tetangga? Apa tidak terjadi perang brotoyudo.
Percayalah, ngomelnya seorang istri itu hanya dibibir saja. Dihatinya sebenarnya juga ada penyesalan. Ada rasa bersalah, walau dia gengsi untuk minta maaf. Paling setelah dia marah, pura-pura bikinin teh atau kopi. Atau memasak kesukaan suami sebagai tanda berdamai. Atau malamnya dia minta mantap-mantap. Ah tidak usah saya perjelas, pastinya sudah pada paham semuanya.
Weleh-weleh, saya kok jadi kayak konsultasi atau spikiater keluarga saja ya. Sok tahu. Bukan begitu, ini sekedar berbagi cerita saja. Walau bujang, bukan berarti kalah pengalaman. Dah ah, ngomong saya jadi ngelantur, jadi menggurui. Semoga pernikahan Karim dan Putri menjadi keluarga yang harmonis, sehat dan murah rezekinya. Diberi keturunan yang soleh. Dan bagi pembaca yang masih bujang kayak saya, tak perlu iri hati. Semoga jodohnya segera mendekat dan semakin didekatkan. Rapat dan rapet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar