Situasi seperti ini memang begitu menyulitkan, serba salah. Jika di rumah saja, kebutuhan hidup tak tercukupi. Tapi jika keluar rumah, takut kena wabah. Ibarat kata, di dalam rumah mati, ke luar rumah pun juga mati. Akhirnya memilih mati di luar rumah. Ah, kalau bisa janganlah ya? Semoga tetap dalam keadaan sehat. Dan rezeki juga tetaplah lancar. Kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Walau harus hutang kesana kemari, tak jadi soal. Demi menyambung hidup.
Wah saya jadi ingat saat awal-awal wabah ini melanda. Batin rasanya menangis. Untuk makan sulit sekali. Ya terpaksa ke kebun mencari daun genjer untuk dimakan. Untuk dibuat sayur pastinya. Ya mencari genjer, mencari yang gratisan. Bumbu cukup garam dan sedikit ditambahi bumbu-bumbu yang lainnya. Soal beras, tertolong dari beras bansos. Aduh ngomong bansos lagi, ah mentri yang baru tak ada kabarnya. Bantuan beras kenapa berhenti total? Semelekete!!!!!
Soal makan, bisalah perut diikat erat-erat. Tapi yang paling berat adalah memenuhi kebutuhan bulanan semisal listrik, air, kontrakan dan pulsa buat sekolah anak. Kepala pening euy! Pengen sambat, tapi entah kepada siapa. Tapi ya semua itu jalanin saja. Soal keluh kesah dan bahkan putus asa, hal yang wajar. Sifat manusiawi. Asal jangan sampai bunuh diri.
Wow bunuh diri? Jadi ingat tentang seorang pria ganteng yang bunuh diri dengan seutas tali. Mengakhiri hidupnya menjelang pagi hari, sekitar waktu subuh. Menggegerkan warga sekampung. Pria ganteng, yang murah senyum. Dan selalu menampakan keceriaan, tiba-tiba harus merenggang nyawa. Apa penyebab gantung diri?
Saya pun mencoba untuk menelisik penyebab pria ganteng itu bunuh diri. Kabar kasak-kusuk, pria itu depresi karena didesak segera untuk menikahi pacarnya. Resepsi pernikahan yang begitu mepet. Sedangkan sang pria belum punya modal atau biaya. Walau sang pria ini sudah berusaha untuk mencari pinjaman sana-kemari, tapi hasilnya ya nihil. Dalam keputusasaan itulah, bisikan setan datang.
Ya ya ya, sebenarnya sarat pernikahan itu kan mudah, murah dan sederhana. Tapi karena ingin mengikuti budaya jadilah repot dan terasa berat. Jadi beban. Sebagai orang tua, seharusnya tidak memaksakan diri. Asal anak sudah sama-sama mencintai. Soal resepsi sesuai dengan kemampuannya saja. Tak perlu gengsi. Jangan karena ingin balik modal atau ingin mencari keuntungan. Atau ingin dilihat wah.
Apalagi kondisi seperti saat ini. Sekedar buat makan saja sudah ngos-ngosan. Ya ya ya, harus berani mendobrak budaya yang sekiranya memberatkan. Kalau biaya ada, mau mengadakan acara seperti Atta Halilintar tak jadi masalah. Mengundang presiden buat jadi saksi. Sekali lagi, itu pun kalau punya duit. Kalau tak ada? Akhirnya calon menantu depresi dan harus gantung diri? Penyesalan yang datang terlambat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar