Tidak terasa sebentar lagi lebaran, tinggal menhitung hari. Walau ada di daerah Jogjakarta sudah ada yang lebaran atau riayan duluan. Kata sang ketua, beliau sudah menghubungi atau sudah mentelephone Tuhan, dan Idul Fitrinya jatuh pada hari Jumat kemarin. Ah tidak apa-apa ya? Berbeda tentang satu Syawal sudah menjadi hal lumrah. Terus mana yang betul? Manusia hanya bisa menebak dan mengira-ngira. Soal mana yang benar, hanya Tuhan yang tahu. Intinya gini aja, kita mengikuti umumnya orang atau kebanyakan orang saja. Itu lebih aman dan lebih mendekati kebenaran.
Perbedaan menjadi sunnah dan hal yang biasa saja. Tidak perlu diperdebatkan terlalu jauh, ya hanya sebatas menjadi obrolan saja. Apalagi perbedaan menyangkut mazhab, kalau berdebat tidak akan pernah ketemu ujung pangkalnya. Karena semua sudah punya dalilnya. Dan pastinya semua ingin menjatuhkan lawan mazhabnya. Nikmati saja, dengan adanya perbedaan, sebagian orang jadi ada kerjaan. Termasuk saya, bisa menjadi topik berita, hahaha. Ambil sisi enaknya saja!
Kalau mendekati lebaran, apa saja seh yang ramai? Toko baju dan toko makanan pasti yang ketiban rezekinya. Pengunjung atau pembeli akan melimpah ruah dari biasanya. Bahkan ada toko yang saking ramainya, sampai kewalahan melayani pengunjung. Maka tidak heran, jika saat mendekat lebaran banyak lowongan kerja dadakan sebagai pelayanan toko.
Eh tidak itu saja. Ada yang ketiban rezeki juga, apa itu? Bisnis jasa penukaran uang kertas baru. Oh iya ya, kalau lebaran kayaknya sudah menjadi hal lumrah atau menjadi tradisi budaya bagi-bagi uang atau THR dengan sanak famili. Bagi uang dengan uang kertas lembaran baru. Anak-anak pasti suka jika mendapatkan uang kertas baru. Akan disimpannya dengan rapi.
Jadi ingat video yang di tiktok. Emak-emak yang berlagak sok kaya mendadak, bagi-bagi uang ke saudara. Emak-emak yang pulang dari rantauan. Saat lebaran bak artik kaya raya. Pakaian dan dandannya mengalahkan artis. Atau bahkan mengalahkan istri sultan. Penuh dengan gemerlapan. Setiap ketemu orang, bagi-bagi uang. Pokoknya royal banget, dermawan banget. Eh setelah kembali ke rantuan, merianglah emak tersebut. Kepalanya penuh dengan tempelan koyo, pakai bajunya dasteran rombeng. Duit abis ceritanya, sedangkan iuran ansuran motor dan kontrakan belum terbayarkan. Hahaha....... Emak-emak itu sangat menjiwai peranannya, sepertinya itu sebuah pengalaman pribadi.
Ya ya ya. Hidup ini memang penuh cerita. Kalau tidak ada cerita, kurang seru. Hidup terasa gimana gitu. Lebaran jaman dulu identik juga dengan uang kertas baru. Saya pun masih ingat saat lebaran jika dikasih uang kertas sama tante atau pak dhe, bahagianya luar biasa. Era itu masih uang kertas baru yang nominalnya seribu rupiah atau dua ribu rupiah. Paling banter uang kertas baru nominal lima ribu rupiah.
Karena ingat dengan uang kertas baru tersebut. Budaya bagi-bagi uang kertas baru, saya pun mencoba untuk menelusuri bisnis jasa penukaran uang kertas baru. Apakah masih seramai tahun-tahun sebelumnya. Apakah penukaran uang kertas baru masih diminati masyarakat. Saya pun ke luar rumah, keliling jalan besar yang biasanya menjadi pangkalan para pebisnis jasa penukaran uang kertas baru. Eh motor saya pun berhenti di sebuah kawasan pabrik, menjumpai emak-emak penukar jasa uang baru berderet. Mereka tidak memperdulikan panasnya terik matahari.
Karena saya sudah akrab dengan emak-emak yang mangkal disana. Jadi saya leluasa untuk memotretnya. Emak-emak tersebut juga tidak keberatan. Eh emak itu punya anak cantik, aduh saya kok sampai lupa kenalan. Luma memotrenya pula. Ah mata keranjang saya mulai kambuh. Jika lihat wanita cantik, mata jadi jelalatan. Maklum, saya masih lelaki normal, hahaha.
Saya pun menyempatkan ngobrol dengan emak tersebut. Menanyakan apakah bisnisnya masih sermai dulu. Emak tersebut menjawab dengan nada lirih dan lembut, "Sepi". Memang kalau saya perhatikan, dari deretan emak-emak jada penukar uang kertas baru tersebut, memang sangat sepi. Saat saya datang, sama sekali tidak ada transaksi.
Kenapa bisnis jasa penukaran uang kertas baru kian sepi? Pastinya banyak sebab. Bisa jadi faktor ekonomi Indonesia yang belum pulih sepenuhnya saat wabah covid melanda. Masih ingatkan, saat wabah penyakit tersebut, terjadi gelombang PHK yang besar-besaran. Terjadi pengangguran secara serentak. Sampai saat ini lowongan pekerjaan masih minim dan terbatas.
Atau mungkin, orang lebih suka menukar uangnya di Bank, karena bisa dalam jumlah besar, bisa mencapai puluhan juta. Bebas biaya administrasi, paling banter hanya bayar uang parkir kendaraan. Aman dan nyaman pula. Beda halnya jika menukar uang kertas baru di pinggir jalan, biaya jasa per seratus ribu rupiah untuk saat ini berkisar 15 ribu rupiah.
Dan juga bisa dikarenakan, anak-anak sekarang sudah pada pandai dan pintar. Mereka, anak-anak kecil saat ini sudah tahu nilai nominal uang. Jadi mereka menilai uang bukan dari kertas baru maupun kertas lusuhnya. Tapi dari angka atau nominal uang kertas tersebut. Uang kertas 50 ribu lusuh dengan uang kertasa 5 ribu baru, anak-anak era sekarang akan memilih uang 50 ribu pastinya. Masih banyak faktor penyebab lain pastinya ya, yuk dikomen!
Kalau di tempat kami tukar duit baru di bank.
BalasHapusBagus juga ada makcik-makcik buat khidmat tukar duit baru di tepi jalan.
Mungkin bocil sekarang udah pada pake dana, tinggal scan, praktis, jaman dah berubah
BalasHapusJualan lagi sepi makanya mungkin yang tukar duit baru untuk lebaran juga ikutan sepi.
BalasHapusTapi saya sayangnya kalo tukar duit ngga pas ya. Tukar 100 ribu 5 ribuan, isinya cuma 18, bukan 20 lembar.
BalasHapusSelamat hari raya idul Fitri 2024. Mohon maaf kalo banyak salah 🙏
saya baru tahu setelah mendengar penjelasan ustaz tentang bisnes seumpama ini:
BalasHapusUstaz Azhar Idrus (UAI) menjelaskan hukum penukaran duit raya. Sebenarnya, hukum penukaran duit raya adalah haram jika penjual tidak memberi jumlah yang tepat dan sama. "Nak tukar duit raya RM100 kepada RM1 (100 keping), kalau dapat RM98 kurang RM2, maka ia jatuh haram," katanya.
kami di sini tukar di bank sahaja atau di mesin ATM. cuma di mesin ATM, tak dapat nak tukar not RM1 atau RM5.
Di Bandung mahal, tukar 200rb fee-nya 20rb (10%). Emang sih itung-itung jasa antri di bank buat si bapak/ibu penjual duit. Eh...kok penjual duit. Lagian kan kata Ustaz, haram jualan duit.
BalasHapusTahun ini ndelalah, engga beli duit di pinggir jalan itu, masih punya hasil tuker di bank tahun-tahun yl. Sebenernya uang lama, tapi cetakan baru gres. Tapi masih laku kok. Hehe... Itulaaah...uang kita kan sekarang ukurannya macem-macem...
Karena digitalisasi juga berpengaruh sepertinya. Anak-anak bisa diberikan THR maupun angpao dalam bentuk e-wallet dan sebagainya.
BalasHapuskrn dalam islam yg aku baca hukumnya haram sih mas. jual beli uang tidak boleh, jatuhnya riba. makanya aku ga pernah tukar ama mereka. alasan kedua juga krn dulu aku kerja di bank, bagian operation pula. jd punya akses ke uang baru hahahaha. makanya dulu keluarga paling banyak minta tuker uang baru di aku.
BalasHapusskr sih udah resign. dan anak2 skr lbh suka digital. aku tinggal transfer ke rek mereka atau ewallet. palingan cuma anak2 lingkungan rumah aja yg msh minta recehan
menurutku bisa sepi itu karna anak2 jaman now udh gak peduli lagi uang itu baru ato tidak mas, yg penting warna uangnya mas, kalo diksh merah atau biru mereka udh jingkrak2 gak ketulungan meskipun uangnya gak baru...
BalasHapusApa uang baru harganya jauh lebih mahal ya sekarang?
BalasHapusBTW, ga apa juga lupa motoin anak cantik si Emak, foto lembaran rupiah lebih manggairahkan,
saya sempat lihat juga para emak - emak yang menawarkan uang baru di pasar dekat rumah mas. Tapi so far aku sudah dapat dari bank di kantor. Memang tidak semua uang baru, tapi uang layak edar ya. Well, anak - anak sekarang sepertinya yang penting adalah nilainya hehehe
BalasHapusOh? Tak pernah lihat tukaran wang di jalanan begini... Di sini tiada
BalasHapusJaman sudah berubah, terus dikantor sendiri emang memfasilitasi penukaran uang menjelang lebaran lewat koperasi, jadi lebih efisien dan tidak perlu ada biaya tambahan.
BalasHapusThanks for your informative sharing
BalasHapus