Hindari omong politik aja dah. Sebab kalau salah ngomong, akibatnya bisa fatal. Bisa kena geruduk. Lagian politik Indonesia juga sedikit aneh dan unik. Yang di bahas ya itu itu itu melulu. Kayak tidak ada bahan lain saja. Masyarakt sepertinya kurang disuguhi politik yang punya nila edukasi tinggi. Melihat orang-orang pintar di televisi, kalau berdebat masih pakai otot dan tenaga. Kurang begitu santun. Ah, mungkin itu hanya penilaian saya saja. Kemungkinan saya mainnya kurang jauh, hehehe.
Nah, seperti itulah, jika perut dalam keadaan kosong. Kalau ngomong kenceng dan ngawur. Eits, ini sayangomongin diri sendiri ya. Tidak ada maksud ngomongin orang loan. Jadi ya jangan tersinggung. Boleh sih tersinggung, asal jangan demo hahaha. Makanya jangan sampai perut kosong, tidak bagus bagi kesehatan. Kalau perut kenyang, semuanya ikut tenang. Isi kelapa juga bis diajak konsentrai, tidur juga bisa nyenyak. Beda halnya jika lambung kosong, inginnya berontak dan demo melulu. Revolusi.
Aseknya kulineran apa kali ini ya? Mengingat isi rekening yang semakin tipis dan terus-menerus terkuras demi memenuhi kehidupan sehari-hari. Pemasukan minim, eh pengeluaran deras mirip air terjun dari pegunungan. Isi dompet? Weleh, pastinya lebih parah to. Hanya tinggal uang kertas nominal dua ribuan. Ya ampun, kenapa saya kok jadi sambat. Ah gara-gara kepancing omongan. Atau mungkin efek dari belum sarapaan?
Nongkrong di luar, sambil mencari makanan atau jajanan ringan. Kalau duit tidak mendukung, rasa kemalasan itu semakin menguat. Mau pergi jauh, setidaknya harus punya bekal uang yang cukup. Entah itu buat beli bensin, atau untuk uang cadangan yang tidak terduga, semisal nanti ban bocor atau uang pakiran yang kini merajalela. Alaaaah, ngeluh lagi.
Tidak berselang lama nongkrong, ada emak-emak penjajakan dangannya dengan cara mengayuh sepeda. si Emak dengan mengenakan caping gunung sebagai pengganti topi penutup kepala. "Tiwul Tiwul,....", sesekali emak itu teriak mempromosikan jajanannya. Saya pun tersontak, "Apa Tiwul?" Di Kota besar begini, ada yang keliling menjual tiwul, makanan ndeso. Makanan era kolonial, makanan jaman susah.
Saking penasarannya, saya pun membelinya. Harganya lumayan murah, lima ribu rupiah. Isinya komplit, ada tiwul, cenil, ketan hitam. Nanti dikasih toping atau taburan parutan kepala muda. Jajanan yang super. Lidah ikut bergoyang-goyang karena tekstur cenil yang gimana gitu. Isi kepala pun ikut terabang ke era dimana saat itu pernah mengalami fase kehidupan dititik rendah ekonominya. Era dimana harga beras tidak terjangkau. Ya ya ya, saat itu hanya bisa makan tiwul.
Aduh, kenapa saya jadi bernostalgia dengan masa lalu. Ya ya ya, itulah aseknya berkulineran. Tidak hanya memanjakan daya lidah saja, tapi juga bisa membangkitkan rasa emosi dan pikiran. Saya pun menyempatkan bertanya kepada si emak tersebut."Apakah anak-anak era sakarang ada yang membelinya?". "Umumnya yang beli orang tua", sepintas jawabannya. Semoga laris manis dan sehat selalu ya mak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar