Awal tahun memasuki musim penghujan. Dan tahun ini, 2025 genap masuk dalam perhitungan kalender banjir 5 tahunan jakarta. Hal yang lumrah dan wajar, warga masyarakat dihantui kecemasan yang sungguh luar biasa. Belum lagi dengan wabah penyakit batuk, deman dan flu yang membuat pihak kesehatan kayaknya kuwalahan. Ya karana saking banyaknya orang yang terkena penyakit tersebut, khususnya anak-anak. Perhatikan saja, hampir semua Puskesmas membludak dengan pasien.
Wah kalau bicara soal banjir Jakarta, aseknya memang saat perdebatan Pilkada. Seru dan semua calon-calon merasa paling jago dan yang paling punya ide berlian. Tapi setelah menjabat, ehmmm ...., ternyata masalah banjir Jakarta tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Ruwet dan jelemit. Pasti juntrungnya menyalahkan masyarakat yang membuat sampah tidak pada tempatnya. Alias membuang sampah sembarangan tempat. Apalagi masyarakat yang suka membuang sampah disungai, akan menjadi tundingan biang keladi dari penyebab banjir Jakarta.
Kalau menurut pengamatan saya, sebenarnya penyebab banjir Jakarta banyak faktornya. Kalau soal faktor alam, itu sudah pasti ya. Karena semakin tahun tanah Jakarta semakin rendah, tanah Jakarta semakin amblas. Kalau soal kebijakan pemimipin, nah ini yang menarik dibicarakan. Jakarta lebih suka mengambil kebijakan yang sifatnya jangka pendek, semisal lebih suka meninggikan jalanan daripada perbaiki atau membuat saluran baru. Akibatnya apa? Rumah warga yang jadi tenggelam.
Jalan raya yang begitu lebarnya, ada lo yang tidak memiliki saluran air. Kalau hujan turun? Ah tidak perlu dijawab, pastinya sudah tahulah. Airnya muter-muter di kawasan pemukiman warga. Kalau soal bantaran sungai yang menjadi pemukiman? Wow sensitif sekali untuk dijawab. Era Gubernur Ahok sempatlah sedikit bisa dirapikan. Tapi setelah itu, entah kenapa bisa kembali lagi
Sungai yang dulunya lebar, keni menyempit akibat bangunan liar. Belum lagi diatas sungai dibangun sebagai area parkir mobil. Wah ini apa tidak menghambat aliran air? Ya sudah pastilah. Lahan-lahan kosong Jakarta sepertinya juga lebih banyak dikuasai swasta. Yang kemudian dibangun komplek atau apatemen mewah dengan urugkan tanah yang setinggi langit hahaha. Rumah warga sekitarnya semakin nyungsep.
Kalau ada lahan kosong punya pemerintah? Sepertinya pemerintah juga lebih tertarik dengan membangun bangunan yang punya nilai jual. Seperti membangun rumah susun, pasar, mal dan sebagainya. Setidaknya, setiap kelurahan jika ada tanah/lahan kosong dibuatkan situ-situ kecil. Ya mirip seperti situ Badung, Jakarta Timur itulah. Sehingga saat hujan turun, bisa menampung sementara air hujan.
Wacana gubernur dipilih Presiden, sepertinya perlu diapreasi. Kalau begini terus, kayaknya akan menghasilkan pemimpin yang hanya menghasilkan kebijakan bersifat jangka pendek. Pemimpin yang hanya berupaya ingin dipilih kembali. Hust! Kalau ngomong jangan asal ngawur. Harus ada data-data kongkrit. Eh ini kan hanya sekedar obrolan warung kopi. Jangan mudah tersinggung!
Jakarta pada tanggal 28-29 Januari, diguyur hujan dari pagi ketemu pagi. Hujan yang cukup deras dalam durasi cukup lama. Sudah dipastikan, Banjir! Malam hari, warga dibuatnya kelimpungan demi menyelamatkan barang berharganya. Ada yang menguras rumahnya karena kemasukan air banjir. Ada yang mengungsi ketempat yang lebih aman. Malam hari yang biasanya warga lelap tidur, saat itu pada keluar rumah. Dengan mengenakan jas mantel hujan, atau yang merelakan tubuhnya basah kuyup.
Banjir lima tahunan, yang dulunya dianggap mitos eh kayaknya kini menjadi prediksi yang nyata. Khususnya di Kelurahan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Kali ini sukapura terkena dampak banjir yang lumayan parah. Khususnya di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, yang posisi tanahnya sangat rendah jika dibandingkan dengan jalan raya. Area KBN Cakung mirip dataran cekung, jika hujan tiba air dari kanan-kiri depan belakang ngumpul di kawasan ini.
Kalau Komplek Bea Cukai Sukapura? Wah ini pertanyaan atau sindiran? Bertanyalah! Komplek ini sering banget menjadi langganan banjir lima tahunan. Air hujan meluap kerumah warga komplek, plus rumah warga pinggirian komplek. Yang paling parah ya rumah pinggiran komplek yang dekat dengan aliran sungai. Apalagi dengan adanya peninggian jalan komplek, aduh semakin memprihatikan. Perlu mendapatkan perhatian dan bantuan segera.
Pengurukan lahan kosong di Jalan Hibryda Kelapa Gading (warga lebih suka menyebutnya jalan baru) juga menjadi penyebabnya. Yang dulunya lahan untuk tanaman kangkung, jika dimusim penghujan bisa menjadi penambungan air sementara. Dengan pengurukan yang tinggi, hal pasti air hujan akan lari ke jalanan dan rumah warta sekitarnya. Dampaknya? Banjir.
Yang dulu, jika hujan turun, airnya menggenang di kebun kangkung tapi kini air hujan menggenangnya di jalanan. Genangan air hujan lumayan tinggi, khususnya di depan kantor baru Lurah Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. Kendaraan yang nekat menerobos banyak yang mogok, khususnya kendaraan roda dua. Wah tidak kebayang, jika nanti semua kebun kosong tersebut sudah benar-benar menjadi bangunan. Area Kelurahan Sukapura akan tenggelam total??????????
Tapi ada hal menarik dengan peristiwa banjir di Keluarahan Sukapura. Walau dalam kesedihan, tetap ada saja yang menampakan kesukacitaannya. Khususnya anak-anak. Area banjir menjadi taman berenang dadakan. Wisata air gratisan. Mereka antusias banget mandi dan berenang tanpa memerdulikan kualitas air. Sesekali mereka juga membantu mendorong kendaraan yang mogok. Ya ya ya dunia anak memang unik.....
Allahu Akbar!
BalasHapusDitempat saya sekarang ini juga sedang mengalami musibah banjir.
Ya Allah... permudahkan segala urusan kami. Amin.
Con el agua al cuello y no solo literalmente, imagino lo dramático de las perdidas. Un abrazo
BalasHapus